Minggu, 17 Maret 2013

 

 

Keberhasilan TGB di Bidang Pendidikan

Komitmen Bapak Gubernur untuk bidang pendidikan luar biasa. Kebijakan Pendidikan Gratis diartikan sebagai penyediaan dana pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin. Lebih dari 200 M per tahun dana dari APBD propinsi dibelanjakan untuk urusan pendidikan. Termasuk dan yang paling besar adalah untuk bantuan pendidikan bagi siswa dari keluarga miskin. Dari tingkat SD sampai Perguruan Tinggi. Lebih dari 400.000 orang murid diberikan BSM ini setiap tahun. Bagi guru-guru non PNS jugamendapatkan insentif. Banyak sekolah/madrasah swasta juga mendapat bantuan untuk rehab ruang kelas. Bahkan pada tahun 2009/2010 sebagian besar Perguran Tinggi Swasta juga mendapat dana bantuan yang relatif besar. Antara 75 sampai 200 juta per PT.
Dampak dari kebiajakn tersebut sangat nyata menurunkan angka drop out sekolah di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah. Kalau sebelumnya, drop out ini bisa mencapai 5-7 persen per tahun, kini untuk tingkat SD/MI tinggal 0.3%, SMP/MTs 0.6%, dan SMA/MA/SMK 1.6%. artinya, program ADONO (angka drop out nol) sudah hampir tercapai.
Angka Partisipasi Murni dan Angka Partisipasi Kasar sekolah di semua jenjang pendidikan jga mengalami kenaikan yang luar biasa. Untuk SD/MI sudah memenuhi target, pada angka 99%. Demikian pula untuk SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.
                                    http://www.tgbamin.com/visi-misi-tgb-amin-2.html

Visi dan Misi TGB-Amin

Visi
Mewujudkan Nusa tenggara barat yang beriman, berbudaya, sejahtera dan berdayasaing.
Misi
  1. Mempercepat perwujudan masyarakat yang BERKARAKTER lewat pemantapan agama, reaktualisasi Pancasila sebagai ideologi bangsa dan Ketahanan budaya.
  2. Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang berdayasaing lewat pelayanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial yang berkualitas, terjangkau dan berkeadilan gender.
  3. Meningkatkan keunggulan kompetitif daerah dengan mengembankan pariwisata, agroindustri dan ekonomi kreatif berbasis BUDAYA dan sumberdaya lokal serta iptek untuk percepatan penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
  4. Melanjutkan percepatan pembangunan infrastruktur dan konektivitas antar wilayah berbasis tataruang dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
  5. Melanjutkan ikhtiar penegakan hukum YANG BERKEADILAN dan MEWUJUDKAN reformasi birokrasi YANG MELAYANI RAKYAT.

“MengIndonesiakan” NTB



“MengIndonesiakan” NTB

 Oleh Dr. Rosiady Sayuti
Kepala Bappeda NTB

Ketika megumumkan kesediaannya untuk maju kembali menjadi Gubernur NTB periode 2013-2018 pada tanggal 16 Oktober lalu, Dr. TGH M. Zainul Majdi menjelaskan tiga alasan utamanya. Pertama, kata beliau, karena dorongan dari berbagai lapisan masyarakat yang menghedaki beliau untuk tampil kembali, denganberbagai alasan. Kedua, karena ingin melanjutkan ikhtiar untuk menuntaskan berbagai program yang telah berjalan dan sudah mulai dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Ketiga, ungkap beliau, dan ini yang menarik menurut saya, “saya ingin memperbaiki posisioning NTB di tingkat nasional.” Dengan bahasa lain, beliau ingin mengangkat derajat dan martabat Nusa Tenggara Barat agar sejajar dengan daerah daerah lain di Indonesia, yang sudah lebih maju. Katakanlah mengambil propinsi terdekat kita, seperti Bali, atau Jawa Timur.
Mengapa Bali dan juga Jawa Timur, atau propinsi lainnya di bagian barat Indonesia demikian maju pesat, jauh meninggalkan propinsi lain di Indonesai Bagian Timur, termasuk NTB, NTT, Maluku, dan lain-lain, karena selama ini politik anggarana di Indonesai menggunakan azas jumlah penduduk. Karena daerah daerah di Indonesia bagian timur ini jumlah penduduknya jauh lebih sedikit dari daerah bagian barat Indonesia, maka jumlah dana yang digelontorkan pusat ke propinsi di bagian barat jauh lebih besar dibandingkan dengan yang bagian timur. Dengan besaran dana seperti tiulah yang kemudian menyebabkan berbagai fasilitas infrastruktur di KBI jauh lebih baik dari daerah daerah KTI. Akibatnya, investasi yang masuk ke KBI jauh lebih banyak, dibandingkan dengan investasi di KTI.
Bukti paling ‘anyar’ terkait masalah ‘positioning’ ini adalah struktur pendanaan dalam proyek MP3EI. Kalau dilihat dari besaran total investasi yang diperlukan (baca:dialokasikan) untuk tiga propinsi yang masuk dalam koridor V, yaitu Bali, NTB, dan NTT; maka yang paling sedikit adalah Bali. Namun, kalau dilihat dari proporsi APBNnya, maka Bali lah yang paling banyak. Makanya, tidak mengherankan kalau pada tahun 2012-2013 ini, suasana Bali hiruk pikuk dengan proyek MP3EI, khususnya konektivitas, sementara NTB dan NTT masih adem ayem.
Itulah salah satu contoh, betapa ‘positioning’ Bali di tingkat nasional, harus kita akui, jauh lebih baik di bandingkan dengan kita di NTB atupun NTT. Dan itulah saya kira, yang dimaksudkan oleh TGB ketika menyatakan akan maju lagi dalam Pilkada NTB 2013 yang akan datang. Beliau menyadari, apa yang telah beliau lakukan selama ini, sejak menjadi gubernur NTB 2008 yang lalu, beliau rasakan masih bisa untuk ditingkatkan. Meski kita, rakyat NTB, sudah menikmati BIL, bypass menuju BIL, yang insya Allah akan diperpanjang sampai Kota Mataram, bendungan Pandanduri Swangi juga sudah memasuki fase kontruksi utama, APDN yang megah akan segera nampak di Lombok Tengah, Embarkasi dan disembarkasi penuh haji, jalan negara mulus dari Ampenan sampai Sape, dan lain-lain, yang kesemuanya itu tidak mungkin terjadi tanpa turun tangan Gubernur secara langsung ke pusat; namun beliau menganggap posisi tawar NTB di pusat masih belum maksimal. Masih banyak ikhtiar yang harus ditingkatkan, agar berbagai agenda besar membangun NTB ini dapat segera terwujud. Ada bendungan Rababaka Komplek di Dompu, Dam Mujur Dua di Lombok Tengah, Bintangbano di KSB, perpanjangan runway dan perluasan bandara Salahuddin Bima dan Kaharuddin Sumbawa, pembangunan Global Hub di Kayangnan KLU, pembangunan kawasan Samota (Teluk Saleh, Moyo, dan Tambora), kajian jalan alternatif Mataram – Lombok Timur yang sudah sangat padat, membangun Mataram Metro sebagai gerbang wisata nasional, meningkatkan daya tarik berbagai destinasi wisata andalan di NTB, dan lain-lain.
Demikian pula ikhtiar untuk mewujudkan masyarakat NTB yang beriman dan berdaya saing. Tentu pekerjaan yang tidak mudah dan memerlukan waktu yang panjang. Membuat perencanaan dan melaksanakan serta pada waktunya mengevaluasi apakah tingkat kecerdasan dan daya saing para pelajar, mahasiswa, dan pemuda NTB telah meningkat atau malah jalan ditempat, tentu perlu waktu. Tidak mungkin dapat diketahui dalam waktu setahun dua tahun. Karena memang, investasi di sektor pendidikan dan kesehatan itu, menurut para ekonom, adalah long term investment.
Kalaupun dalam empat tahun terakhir ini NTB telah berhasil menurunkan angka buta huruf, angka drop out sekolah, pengangguran, angka kematian bayi, dan lain-lain, tentu merupakan modal awal yang baik untuk melangkah ke peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Lima tahun ini tentu berbagai program yang dilaksanakan masih dalam rangka meletakkan dasar yang kokoh dan memperbanyak mereka yang terkena sasaran program. Belum banyak bicara daya saing, atau kualitas. Istilah TGB, kita belum banyak bisa bicara soal “marwah.”
Kata “marwah” itulah yang beliau ungkapkan ketika mentargetkan sepuluh medali emas dalam PON yang baru baru ini berhasil diraih. Melalui potensi dan perjuangan keras para atlet, ternyata kita mampu menaikkan posisi NTB dalam kancah olah raga nasional. Melalui olah raga itulah, masyarakat Indonesia kemudian mengetahui dan mengakui beradaan NTB dalam percaturan olah raga nasional. Pada akhirnya, kita berada pada posisi ke 12 (yang PON sebelumnya rangking 26) dalam deretan propinsi propinsi peraih medali, adalah sesuatu yang patut dibanggakan. Artinya NTB telah menempatkan dirinya di atas rata-rata nasional. Ada dua puluh propinsi lain yang posisinya di bawah posisi NTB.
Posisi NTB dalam berbagai sektor pembangunan juga terus membaik. Penghargaan demi penghargaan dapat diraih di bidang koperasi, ketenaga kerjaan, transmigrasi, pariwisata, bahkan infrastruktur jalan dan tata ruang juga terus meningkat. Dari posisi yang tidak disebutkan, dapat meningkat menjadi posisi yang disebutkan; apakah dalam peringkat lima besar, juara tiga bahkan juara satu. Di bidang binamarga misalnya, tahun lalu NTB menempati peringkat ketiga se Indonesia. Ini karena kebijakan percepatan jalan propinsi dan komitmen pemerintah daerah lainnya, terkait dengan pemeliharaan jalan dan jembatan yang menjadi kewenangan propinsi. Tahun 2012 ini, NTB masuk nominasi 3 besar dalam bidang tataruang. Konon juara satu, insya Allah. NTB juga telah ditetapkan menjadi pilot percontohan pembangunan jalan propinsi yang didukung Australia dengan nilai investasi sampai 1,2 T dalam kurun waktu lima tahun, sejak 2013.
Demikian pula halnya dalam bidang penanggulangan kemiskinan, penanganan masalah ketenagakerjaan, penciptaan kewirausahaan baru, dan lain-lain. Posisi NTB terus membaik. Namun semua itu belum cukup untuk mempercepat laju pembangunan di NTB, sehingga kemiskinan dan pengangguran menjadi terentaskan. Belum cukup untuk meningkatkan kapasitas fiskal di NTB seperti yang direncanakan dalam RPJMD, sehingga semua program tertunaikan; belum cukup untuk menambah dana pusat yang masuk ke NTB atau untuk menarik dana investasi non pemerintah sebanyak banyaknya ke NTB, sehingga semua tenaga kerja dipekerjakan.
Artinya, menurut perspesi TGB, masih perlu kerja lebih keras lagi untuk memperbaiki posisioning NTB di tingkat nasional.Sehingga, jalan jalan propinsi dan kabupaten yang ada di NTB menjadi seratus persen mantap; arus barang dan jasa menjadi makin lancar; kawasan mandalika dan pariwisata lainnya mulai terbangun, dan bandara kita menjadi makin rame dengan tujuan penerbangan dalam dan luar negeri makin banyak pula. Pertumbuhan ekonomi juga makin baik dengan makin banyaknya industri olahan hasil pertanian di setiap kabupaten kota di NTB; jumlah turis mancanegara maupun nusantara makin melimpah, sehingga masyarakat pelaku wisata menjadi meningkat kesibukan dan penghasilannya. Dengan kata lain, posisi ekonomi NTB sama atau bahkan di atas rata-rata poisisi ekonomi nasional.
Itulah saya kira, yang dimaksudkan oleh TGB, dengan bahasa, meningkatkan posisi NTB di kancah nasionalyang dalam bahasa penulis, “mengindonesiakan NTB.” Kalau kondisi NTB sudah seperti itu, maka tidaklah perlu lagi warga NTB mengais rizki di negeri orang hanya untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. Bahkan orang dari luar NTB yang akan berlomba lomba mendatangi NTB, untuk mendapatkan penghasilan yang layak dan penuh berkah, seiring dengan masuknya para investor seperti yang mulai terjadi akhir-akhir ini, insya Allah.Walllahu ‘alam bissawab.

Jumat, 15 Maret 2013

Catatan Kritis PP Tembakau

Catatan Kritis PP Tembakau
Muhammad Zainul Majdi ;  Gubernur NTB, Bukan Perokok
MEDIA INDONESIA, 14 Maret 2013
TIDAK ada komoditas pertanian yang memicu banyak perdebatan dan kontroversi selain komoditas tembakau. Di satu sisi, komoditas itu diakui pemerintah sebagai komoditas strategis dan berperan besar bagi penerimaan devisa negara. Di sisi lain, muncul beragam aturan yang terkesan ingin membatasi produksi tembakau dalam negeri.
Secara on farm dan off farm, penyerapan tenaga kerja di sektor ini tergolong padat karya. Tembakau dirasakan memiliki multiplier effect ekonomi dari hulu hingga hilir. Namun, sampai saat ini, para pelaku ekonomi di sektor tembakau dinilai sebagai pelaku usaha yang tidak diharapkan karena menyebar zat adiktif `haram'.
Karena itu, arah kebijakan pertembakauan di Indonesia selalu serbaabu-abu dan menjadi pertarungan skala prioritas antara penerimaan negara, tenaga kerja, dan juga kesehatan. Belum pernah ada satu kebijakan tembakau yang mampu memadukan ketiga prioritas itu, apalagi setiap sektor terkesan berjalan berdasarkan logikanya sendiri.

Kurang Integratif
Contoh kebijakan semacam itu ialah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang terbit pada 24 Desember 2012. Kebijakan itu jelas menonjolkan aspek kesehatan dalam produk tembakau dan kurang memikirkan dua aspek lainnya.
Dalam paparan yang disampaikan pada pertemuan Koordinasi Program Intensifikasi Tembakau Virginia Lombok di Mataram, 21 Februari lalu, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian (Kementan) Nurnowo Paridjo menegaskan, PP ini tidak melarang penanaman tembakau, produksi rokok, penjualan rokok, ataupun tindakan merokok itu sendiri.
Akan tetapi, dalam bagian penjelasan PP jelas disebutkan, dasar pembuatan PP itu merupakan pandangan bahwa produk tembakau berbentuk rokok menjadi masalah karena r berdampak negatif bagi keseb hatan. Bukan cuma perokok aktif, melainkan juga berbahaya bagi perokok pasif.
Dengan penjelasan itu, sulit bagi Kementan untuk meyakinkan kalangan petani tembakau agar merasa aman dari dampak pemberlakuan PP Tembakau. Kesan kebijakan dalam PP itu kurang integratif menampung aspirasi di internal kabinet yang makin mengemuka karena Kementan mengakui peran strategis komoditas tembakau dan rokok.
Kementan mengakui penerimaan cukai rokok pada 2011 Rp66,1 triliun dengan target 2012 Rp73 triliun. Jumlah itu sangat jauh dari penerimaan negara untuk seluruh sektor tambang 2010 yang hanya mencapai Rp7,1 triliun. Itu belum ditambah penerimaan devisa negara lewat ekspor rokok dan tembakau yang nilainya mencapai US$595,61 juta.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, komoditas tembakau dan rokok juga luar biasa, mencapai 6,1 juta orang. Mereka bukan hanya para petani tembakau dan cengkih, melainkan juga para pemilik warung dan insan periklanan. Komoditas itu juga menggerakkan sektor olahraga, kesenian, dan rekreasi, bahkan fasilitas keagamaan.
Bisa dibayangkan betapa komoditas tembakau dan rokok tidak saja menjadi urusan Kementerian Kesehatan, tetapi juga kepentingan beragam ke menterian, seperti Kementan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan.

Salah Waktu
Dari sisi pemberlakuan, PP itu juga terbit dalam situasi yang belum sepenuhnya kondusif dan sebenarnya kurang sesuai dengan tahapan skala prioritas dalam roadmap Industri Hasil Tembakau (IHT) yang disusun Kementan. Dalam roadmap, dinyatakan, prioritas IHT pada 2010-2014 adalah penerimaan negara. Baru pada 2015-2020 prioritas kemudian bergeser ke sektor kesehatan.
Maraknya protes dan demo yang mengkritik PP Tembakau itu juga muncul karena PP tersebut muncul di tengah masih tingginya impor tembakau Indonesia. Menurut data Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), impor tembakau cenderung naik dari tahun ke tahun, mulai 23 ribu ton pada 2003 menjadi 100 ribu ton pada 2012. Padahal, produksi tembakau lokal pada 2012 naik 9,68% menjadi 170 ribu ton.
Secara psikologis, wajar jika ada anggapan di sebagian kalangan, sejumlah aturan dalam PP itu merugikan produsen tembakau lokal dan menguntungkan importir. Misalnya, Pasal 10 dan 11 PP itu menetapkan standar kadar nikotin dan tar pada produk tembakau yang menurut sebagian kalangan dinilai akan memenangi tembakau impor.
Kebijakan lain yang dipertanyakan adalah kebijakan diversifikasi produk tembakau selain rokok, seperti diatur dalam Pasal 7 ayat 2 PP. Dalam bagian penjelasan pasal itu disebutkan, diversifikasi produk tembakau diarahkan menjadi bahan kimia dasar yang bisa digunakan untuk memproduksi pestisida, obat bius, kosmetik, dan farmasi.
Akan tetapi, dalam pernyataan publiknya, meski mengakui PP Tembakau tidak melarang petani untuk menanam tembakau, Menteri Pertanian mengusulkan agar para petani tembakau mengganti komoditas tanam mereka menjadi nontembakau. Alasannya sebenarnya rasional, yaitu mengantisipasi PP Tembakau dan tren penurunan konsumsi tembakau.
Namun, imbauan diversifikasi dengan alasan penurunan konsumsi tembakau tidak efektif jika impor tembakau tetap tinggi. Selain itu, secara sosiokultural, menanam tembakau bagi sebagian petani kita sudah menjadi semacam tradisi turun-temurun. Masa tanam yang singkat dan dampak jelasnya pada kesejahteraan rakyat membuat diversifikasi sulit dilakukan.

Solusi Komprehensif
Kalaupun pemerintah ingin agar dilakukan diversifikasi produk tembakau ke produk nonrokok, hal itu masih juga menghadapi sejumlah kendala.
Misalnya, produk nonrokok seperti apa? Lantas, ke mana para petani tembakau menyalurkan tembakau mereka untuk produk nonrokok itu?
PP 109 Tahun 2012 sebenarnya memiliki idealisme yang baik. Catatan-catatan ini pun dibuat agar pengemban aturan seperti pemerintah daerah bisa menjalankan tugasnya tanpa harus bertabrakan dengan rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, saya kira perlu sebuah kebijakan yang tidak semata bersifat imperatif, tetapi juga mengandung solusi alternatif.
Untuk itu, masalah komoditas tembakau harus dilihat secara lebih komprehensif dan lintas sektoral. Hal itu diharapkan berjalan simultan dengan upaya Kemendag menggenjot ekspor produk tembakau unggulan Indonesia ke pasar internasional.
Saya bukan perokok. Catatan kritis atas PP Tembakau ini saya sampaikan lebih dimotivasi karena tembakau virginia merupakan sumber pendapatan 8.000 petani di NTB. Komoditas itu juga telah menyerap 124.313 pekerja di setiap musim tanam tembakau yang terdiri atas 35.000 orang adalah wanita.
Dalam setiap lima bulan musim tanam tembakau, peredaran uang mencapai Rp600 miliar-Rp800 miliar. Karena berbagai pertimbangan itulah, beredar pemeo di kalangan petani tembakau yang oleh suku Sasak disebut mako. Anda boleh membenci rokok, tetapi jangan pernah sekalipun membenci mako. ●