TIDAK ada komoditas pertanian
yang memicu banyak perdebatan dan kontroversi selain komoditas tembakau. Di
satu sisi, komoditas itu diakui pemerintah sebagai komoditas strategis dan
berperan besar bagi penerimaan devisa negara. Di sisi lain, muncul beragam
aturan yang terkesan ingin membatasi produksi tembakau dalam negeri.
Secara on
farm dan off farm, penyerapan
tenaga kerja di sektor ini tergolong padat karya. Tembakau dirasakan
memiliki multiplier effect
ekonomi dari hulu hingga hilir. Namun, sampai saat ini, para pelaku ekonomi
di sektor tembakau dinilai sebagai pelaku usaha yang tidak diharapkan
karena menyebar zat adiktif `haram'.
Karena itu, arah kebijakan pertembakauan di
Indonesia selalu serbaabu-abu dan menjadi pertarungan skala prioritas
antara penerimaan negara, tenaga kerja, dan juga kesehatan. Belum pernah
ada satu kebijakan tembakau yang mampu memadukan ketiga prioritas itu,
apalagi setiap sektor terkesan berjalan berdasarkan logikanya sendiri.
Kurang
Integratif
Contoh kebijakan semacam itu ialah Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang terbit
pada 24 Desember 2012. Kebijakan itu jelas menonjolkan aspek kesehatan
dalam produk tembakau dan kurang memikirkan dua aspek lainnya.
Dalam paparan yang disampaikan pada
pertemuan Koordinasi Program Intensifikasi Tembakau Virginia Lombok di
Mataram, 21 Februari lalu, Direktur Tanaman Semusim Kementerian Pertanian
(Kementan) Nurnowo Paridjo menegaskan, PP ini tidak melarang penanaman
tembakau, produksi rokok, penjualan rokok, ataupun tindakan merokok itu
sendiri.
Akan tetapi, dalam bagian penjelasan PP
jelas disebutkan, dasar pembuatan PP itu merupakan pandangan bahwa produk
tembakau berbentuk rokok menjadi masalah karena r berdampak negatif bagi
keseb hatan. Bukan cuma perokok aktif, melainkan juga berbahaya bagi
perokok pasif.
Dengan penjelasan itu, sulit bagi Kementan
untuk meyakinkan kalangan petani tembakau agar merasa aman dari dampak
pemberlakuan PP Tembakau. Kesan kebijakan dalam PP itu kurang integratif
menampung aspirasi di internal kabinet yang makin mengemuka karena Kementan
mengakui peran strategis komoditas tembakau dan rokok.
Kementan mengakui penerimaan cukai rokok
pada 2011 Rp66,1 triliun dengan target 2012 Rp73 triliun. Jumlah itu sangat
jauh dari penerimaan negara untuk seluruh sektor tambang 2010 yang hanya
mencapai Rp7,1 triliun. Itu belum ditambah penerimaan devisa negara lewat
ekspor rokok dan tembakau yang nilainya mencapai US$595,61 juta.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja,
komoditas tembakau dan rokok juga luar biasa, mencapai 6,1 juta orang.
Mereka bukan hanya para petani tembakau dan cengkih, melainkan juga para
pemilik warung dan insan periklanan. Komoditas itu juga menggerakkan sektor
olahraga, kesenian, dan rekreasi, bahkan fasilitas keagamaan.
Bisa dibayangkan betapa komoditas tembakau
dan rokok tidak saja menjadi urusan Kementerian Kesehatan, tetapi juga
kepentingan beragam ke menterian, seperti Kementan, Kementerian Tenaga
Kerja, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan.
Salah
Waktu
Dari sisi pemberlakuan, PP itu juga terbit
dalam situasi yang belum sepenuhnya kondusif dan sebenarnya kurang sesuai
dengan tahapan skala prioritas dalam roadmap
Industri Hasil Tembakau (IHT) yang disusun Kementan. Dalam roadmap,
dinyatakan, prioritas IHT pada 2010-2014 adalah penerimaan negara. Baru
pada 2015-2020 prioritas kemudian bergeser ke sektor kesehatan.
Maraknya protes dan demo yang mengkritik PP
Tembakau itu juga muncul karena PP tersebut muncul di tengah masih
tingginya impor tembakau Indonesia. Menurut data Asosiasi Petani Tembakau
Indonesia (APTI), impor tembakau cenderung naik dari tahun ke tahun, mulai
23 ribu ton pada 2003 menjadi 100 ribu ton pada 2012. Padahal, produksi
tembakau lokal pada 2012 naik 9,68% menjadi 170 ribu ton.
Secara psikologis, wajar jika ada anggapan
di sebagian kalangan, sejumlah aturan dalam PP itu merugikan produsen
tembakau lokal dan menguntungkan importir. Misalnya, Pasal 10 dan 11 PP itu
menetapkan standar kadar nikotin dan tar pada produk tembakau yang menurut
sebagian kalangan dinilai akan memenangi tembakau impor.
Kebijakan lain yang dipertanyakan adalah
kebijakan diversifikasi produk tembakau selain rokok, seperti diatur dalam
Pasal 7 ayat 2 PP. Dalam bagian penjelasan pasal itu disebutkan,
diversifikasi produk tembakau diarahkan menjadi bahan kimia dasar yang bisa
digunakan untuk memproduksi pestisida, obat bius, kosmetik, dan farmasi.
Akan tetapi, dalam pernyataan publiknya,
meski mengakui PP Tembakau tidak melarang petani untuk menanam tembakau,
Menteri Pertanian mengusulkan agar para petani tembakau mengganti komoditas
tanam mereka menjadi nontembakau. Alasannya sebenarnya rasional, yaitu
mengantisipasi PP Tembakau dan tren penurunan konsumsi tembakau.
Namun, imbauan diversifikasi dengan alasan
penurunan konsumsi tembakau tidak efektif jika impor tembakau tetap tinggi.
Selain itu, secara sosiokultural, menanam tembakau bagi sebagian petani
kita sudah menjadi semacam tradisi turun-temurun. Masa tanam yang singkat
dan dampak jelasnya pada kesejahteraan rakyat membuat diversifikasi sulit
dilakukan.
Solusi
Komprehensif
Kalaupun pemerintah ingin agar dilakukan
diversifikasi produk tembakau ke produk nonrokok, hal itu masih juga
menghadapi sejumlah kendala.
Misalnya, produk nonrokok seperti apa? Lantas, ke mana para petani tembakau
menyalurkan tembakau mereka untuk produk nonrokok itu?
PP 109 Tahun 2012 sebenarnya memiliki
idealisme yang baik. Catatan-catatan ini pun dibuat agar pengemban aturan
seperti pemerintah daerah bisa menjalankan tugasnya tanpa harus bertabrakan
dengan rakyat. Untuk mewujudkan hal itu, saya kira perlu sebuah kebijakan
yang tidak semata bersifat imperatif, tetapi juga mengandung solusi
alternatif.
Untuk itu, masalah komoditas tembakau harus
dilihat secara lebih komprehensif dan lintas sektoral. Hal itu diharapkan
berjalan simultan dengan upaya Kemendag menggenjot ekspor produk tembakau
unggulan Indonesia ke pasar internasional.
Saya bukan perokok. Catatan kritis atas PP
Tembakau ini saya sampaikan lebih dimotivasi karena tembakau virginia
merupakan sumber pendapatan 8.000 petani di NTB. Komoditas itu juga telah
menyerap 124.313 pekerja di setiap musim tanam tembakau yang terdiri atas
35.000 orang adalah wanita.
Dalam setiap lima bulan musim tanam
tembakau, peredaran uang mencapai Rp600 miliar-Rp800 miliar. Karena
berbagai pertimbangan itulah, beredar pemeo di kalangan petani tembakau
yang oleh suku Sasak disebut mako. Anda boleh membenci rokok, tetapi jangan
pernah sekalipun membenci mako. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar